

Hari Santri adalah hari peringatan nasional di Indonesia yang ditetapkan pada tanggal 22 Oktober setiap tahunnya. Peringatan ini didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015.
Tanggal 22 Oktober dipilih untuk mengenang seruan Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945. Seruan ini mewajibkan setiap Muslim untuk berperang melawan pasukan Sekutu (NICA) yang ingin kembali menjajah Indonesia, yang kemudian memicu peristiwa heroik Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945.
hub Entitas Knowledge Graph
article Dokumen Teranotasi
explore Riset Lanjutan

Resolusi Jihad lahir sebagai respons langsung terhadap situasi genting pasca-Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Pada September-Oktober 1945, pasukan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang membonceng pasukan Sekutu mulai mendarat di kota-kota besar, termasuk Surabaya, dengan niat untuk mengembalikan kekuasaan kolonial Belanda.
Melihat ancaman ini, para ulama Nahdlatul Ulama di bawah pimpinan KH Hasyim Asy'ari dan KH Wahab Chasbullah berkumpul dan mengeluarkan fatwa pada 22 Oktober 1945. Fatwa ini menyatakan bahwa hukum membela tanah air dan kemerdekaan adalah fardhu 'ain (kewajiban individu) bagi setiap Muslim yang berada dalam radius 94 kilometer dari pusat pertempuran. Resolusi ini secara efektif mengubah perjuangan fisik menjadi perang suci, membakar semangat para santri dan rakyat untuk melawan penjajah.
hub Entitas Knowledge Graph
article Dokumen Teranotasi
explore Riset Lanjutan
- Bagaimana hukum jihad dalam konteks resolusi jihad? check_circle Terjawab
- Apa perbedaan antara fardhu 'ain dan fardhu kifayah dalam fiqh?
- Bagaimana kronologi kedatangan pasukan NICA di Surabaya?
- Siapa sosok Bung Tomo dan bagaimana ia menyiarkan Resolusi Jihad?
- Di mana markas para ulama saat merumuskan Resolusi Jihad?

Dalam konteks Resolusi Jihad, hukum jihad yang berlaku adalah jihad difa'i (jihad defensif), yaitu perang untuk mempertahankan diri, kehormatan, harta, dan negara dari agresi musuh. Ini berbeda dari jihad ibtida'i (jihad ofensif) yang bersifat memulai pertempuran.
Fatwa tersebut menetapkan perjuangan ini sebagai fardhu 'ain, sebuah kewajiban personal yang mengikat setiap individu Muslim yang mampu dalam jarak tertentu, bukan lagi fardhu kifayah (kewajiban kolektif). Penetapan hukum ini memiliki implikasi sangat kuat, karena mengangkat perjuangan kemerdekaan menjadi sebuah kewajiban agama setingkat shalat lima waktu, sehingga tidak ada tawar-menawar untuk tidak berpartisipasi. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh untuk melindungi tujuan syariat (maqashid syariah).
expand_more Cek Penalaran
- Analisis Kueri: Model mengidentifikasi entitas inti: "hukum jihad" dan "resolusi jihad".
- Pencarian Knowledge Graph: Model menelusuri Knowledge Graph untuk entitas "Resolusi Jihad". Ditemukan relasi kuat ke entitas "Jihad Difa'i", "Fardhu 'Ain", dan "KH Hasyim Asy'ari".
- Penelusuran Dokumen Teranotasi: Model mengakses dokumen teranotasi yang terhubung dengan entitas di atas, terutama "Naskah Asli Resolusi Jihad 1945" dan "Kitab Fath al-Mu'in (Bab Jihad)".
- Sintesis Jawaban:
- Dari "Kitab Fath al-Mu'in", model mengambil definisi "jihad difa'i" (jihad defensif).
- Dari "Naskah Asli Resolusi Jihad", model mengonfirmasi bahwa konteksnya adalah melawan agresi NICA, sehingga sesuai dengan kriteria jihad difa'i.
- Status hukum "fardhu 'ain" diambil langsung dari properti entitas "Resolusi Jihad" dan didukung oleh teks naskah.
- Konsep "Maqashid Syariah" ditambahkan sebagai justifikasi yang lebih tinggi untuk tindakan mempertahankan negara (hifdz ad-din, hifdz an-nafs).
hub Entitas Knowledge Graph
article Dokumen Teranotasi
explore Riset Lanjutan
- Bagaimana pandangan hadlratussyaikh mengenai negara islam dan negara pancasila? check_circle Terjawab
- Apa saja syarat-syarat sahnya jihad difa'i menurut para fuqaha?
- Bagaimana konsep 'hubbul wathon minal iman' (cinta tanah air bagian dari iman)?
- Apakah ada perbedaan pendapat ulama saat itu mengenai Resolusi Jihad?
- Jelaskan perbedaan mendasar antara jihad difa'i dan jihad ibtida'i.

Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'ari memandang bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan konsep Negara Kebangsaan (nation-state) yang berdasarkan Pancasila. Bagi beliau, tujuan utama syariat (maqashid syariah) adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat, yang mencakup perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Beliau berpendapat bahwa bentuk negara tidak diatur secara kaku dalam Islam. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara-bangsa yang berlandaskan Pancasila dianggap sah dan final (dar al-mītsāq), selama negara tersebut dapat menjamin terwujudnya nilai-nilai dan tujuan syariat tersebut. Pandangan ini menjadi dasar bagi Nahdlatul Ulama untuk menerima Pancasila dan menolak gagasan negara Islam formal di Indonesia, karena substansi keislaman dapat diwujudkan dalam kerangka Ukhuwah Wathaniyah (persaudaraan kebangsaan).
hub Entitas Knowledge Graph
article Dokumen Teranotasi
explore Riset Lanjutan
- Apa lima prinsip dasar (Maqashid Syariah) yang dilindungi Islam?
- Bagaimana proses penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal oleh NU?
- Siapa saja tokoh pendiri bangsa yang ikut merumuskan Pancasila?
- Jelaskan konsep 'ukhuwah basyariyah' dan 'ukhuwah wathaniyah'.
- Bagaimana relevansi pandangan KH Hasyim Asy'ari di era modern?